- Walikota Maulana: Momentum Maulid Nabi Perkuat Keimanan, Persaudaraan, dan Kedamaian Kota Jambi
- Eks Pasar Talang Banjar akan Disulap Jadi Diorama Digital Sejarah Kota Jambi
- Rayakan Harpelnas 2025, Ini Hadiah Spesial dari Indosat Ooredoo Hutchison untuk Pelanggan
- Maulana dan Diza Hadiri Pembukaan Asla Championship, Bukti Dukungan Pemkot Jambi pada Olahraga Pelajar
- Hari Pelanggan Nasional 2025 XLSMART Apresiasi Pelanggan dengan Ragam Program Khusus Berbasis Poin dan Kejutan Spesial
- Walikota Maulana Revitalisasi Taman Remaja Jambi, Siapkan Jogging Track, Area Sepatu Roda dan UMKM
- Kejurprov Anggar 2025: Ajang Seleksi Mencari Bibit Atlet Jambi
- Pemkot Jambi Lanjutkan Program Kampung Bahagia, Anggaran Disesuaikan Jumlah KK Tiap RT
- Bersepeda Motor Walikota Kunjungi Masyarakat, Tegaskan Kota Jambi Tetap Aman dan Kondusif
- Wujud Pemerintah Hadir, Walikota Maulana Jenguk Balita Asiyah dan Serahkan Bantuan
Ekonomi Tanpa Tuhan: Sumber Kesenjangan dan Konflik Dunia

Keterangan Gambar : Dr. Ayif Fathurrahman SE., SEI., MSI Dosen Magister Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogykarta
Mediajambi.com - Dunia modern kita berdiri di atas paradoks besar. Di satu sisi, kemajuan teknologi, industrialisasi, dan perdagangan global telah membuka peluang tanpa batas. Namun di sisi lain, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, konflik geopolitik kian mengeras, dan bumi yang kita huni dipaksa menanggung beban eksploitasi tanpa henti.
Di balik pertikaian Rusia–Ukraina, ketegangan Iran–Israel, maupun gesekan di kawasan lain, terselip benang merah yang jarang diakui secara jujur: perebutan sumber daya ekonomi. Politik dan ekonomi kini adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Berbicara politik tanpa ekonomi tak pernah menemukan ujung, dan membicarakan ekonomi tanpa politik hanyalah kehampaan.
Krisis Ekonomi, Krisis Kemanusiaan
Kita hidup di zaman ketika ilmu ekonomi seringkali dilepaskan dari nilai moral dan spiritual. Ekonomi konvensional, yang menjadi arus utama di perguruan tinggi maupun lembaga global, menjanjikan pertumbuhan, namun diam-diam memupuk materialisme. Akibatnya, keseimbangan sosial terkoyak, ekologi rusak, dan solidaritas manusia terkikis.
Ekonomi yang kehilangan nilai agama sejatinya hanyalah mesin tanpa arah. Ia memang mampu memutar roda produksi dan konsumsi, tetapi pada akhirnya bisa menyeret umat manusia pada kesenjangan dan pertumpahan darah. Maka persoalan ekonomi bukan lagi sekadar angka untung dan rugi, melainkan persoalan eksistensi manusia itu sendiri: bagaimana kita bertahan, hidup bersama, dan saling menjaga di muka bumi.
Seperti yang ditegaskan Muhammad Umer Chapra (1992), “The real crisis of our time is not economic or political in nature, but moral. Unless the moral dimension is reintroduced into economics, no lasting solution can be found for poverty and inequality.” Krisis kita sejatinya adalah krisis moralitas.
Islam dan Jalan Tengah Peradaban
Islam menghadirkan sebuah tawaran yang tidak ekstrem: wasathiyah (moderasi), maslahah (kemanfaatan), dan ‘adalah (keadilan). Al-Qur’an menegaskan umat Islam sebagai ummatan wasathan—umat yang seimbang, tidak condong ke kiri maupun ke kanan, termasuk dalam urusan ekonomi.
Ekstremisme dalam sistem ekonomi selalu berujung pada kebuntuan. Sosialisme yang terlalu negara-sentris kehilangan ruang kebebasan individu, sementara kapitalisme yang terlalu liberal melahirkan eksploitasi dan kesenjangan. Keduanya menunjukkan wajah ekonomi yang timpang. Islam hadir untuk menyelaraskan: memberi ruang bagi pasar untuk tumbuh, tetapi menghadirkan negara sebagai penjaga agar pasar tidak berubah menjadi arena pemangsaan yang kuat atas yang lemah.
Yusuf al-Qaradawi (1995) menulis bahwa “al-iqtisad al-Islami huwa iqtisad al-wasathiyyah”—ekonomi Islam adalah ekonomi keseimbangan, yang berdiri di antara dua ekstrem. Ia menolak kediktatoran negara, tetapi juga menolak tirani pasar.
Dari Larangan Riba ke Keadilan Global
Salah satu instrumen nyata dalam Islam adalah larangan riba. Ia bukan sekadar hukum teologis, melainkan prinsip ekonomi yang sangat rasional. Riba menciptakan ketidakadilan struktural: yang kaya semakin aman memperbesar kekayaan, sementara yang miskin semakin terbebani. Sistem tanpa bunga, seperti yang kini mulai diadopsi dalam keuangan syariah, adalah ikhtiar menghadirkan keadilan dan pemerataan.
Nejatullah Siddiqi (1981) menegaskan bahwa sistem perbankan tanpa bunga bukanlah utopia, melainkan cara paling logis untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil. Dalam pandangannya, bunga hanyalah “alat dominasi” yang memperdalam kesenjangan antar kelas sosial.
Larangan riba dengan demikian bukan hanya tentang halal dan haram, melainkan tentang bagaimana manusia bisa hidup dengan lebih adil, saling menguatkan, dan membangun tatanan ekonomi yang berkelanjutan.
Menuju Arus Utama Peradaban
Ekonomi Islam tidak seharusnya dipandang hanya sebagai alternatif di pinggiran. Ia layak menjadi arus utama peradaban masa depan. Bukan karena klaim ideologis, melainkan karena prinsip-prinsip yang dikandungnya: keadilan, keseimbangan, keberkahan, dan keberlanjutan.
Ekonomi Islam mengingatkan bahwa kemajuan bukan hanya soal pertumbuhan angka, melainkan tentang keberlangsungan hidup manusia di bumi. Ia menolak dikotomi palsu antara materi dan spiritual, antara dunia dan akhirat.
Pada akhirnya, ekonomi adalah cermin dari pilihan moral kita sebagai umat manusia. Apakah kita ingin membangun dunia yang hanya dihuni oleh segelintir orang kaya, atau dunia yang menyejahterakan bersama? Apakah kita rela membiarkan konflik berdarah terus terjadi demi harga minyak dan pasar senjata, atau berani membayangkan ekonomi yang berdiri di atas nilai kemanusiaan?
Ekonomi Islam mengajukan jawaban yang sederhana namun mendalam: mari isi ekonomi dengan nilai-nilai keadilan. Karena pada hakikatnya, ekonomi bukan hanya tentang kaya dan miskin, melainkan tentang bagaimana kita menjaga keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.(***)