- Kemenag Usul Penurunan Biaya Haji Jadi Rp 89,66 Juta, Jamaah Hanya Bayar Rp 55,5 Juta
- Pj Walikota Jambi Sampaikan Ucapan Selamat Ulang Tahun Ke-68 Provinsi Jambi : Sinergi dan Kolaborasi Pembangunan Kota Jambi Untuk Provinsi Jambi
- Hadiri Pembukaan Gubernur Cup 2025, Pj Walikota Beri Dukungan Penuh Kesebelasan Kota Jambi
- Yamaha Aerox Alpha Sudah Ready Di Dealer- Dealer Yamaha Jambi
- Enam dari Delapan Pelaku Perundungan yang Viral di Sungai Penuh Diamankan Polisi
- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Sri Purwaningsih Bawa Kota Jambi Terus Melesat, Raih 120 Penghargaan Bergengsi Sepanjang 2024
- Liburan Natal dan Tahun Baru 2025,Trafik Data XL Axiata Naik 19%
- Tim SAR Cari 1 ABK Pompong yang Terbalik dihantam Ombak di Perairan Tengah Pangkal Duri Kabupaten Tanjabar
Satu Dekade Terakhir Jumlah Petani Jambi Naik (Memaknai Hasil Sensus Pertanian)
Keterangan Gambar : Vita Eisynta Dewi, SE., ME. (Statistisi Ahli Muda BPS Kab Muaro Jambi)
Mediajambi.com - Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 yang dilaksanakan oleh BPS, jumlah petani di Provinsi Jambi meningkat dibandingkan hasil Sensus Pertanian sepuluh tahun yang lalu. Berbanding terbalik dengan kondisi nasional dimana jumlah petani malah turun sebesar 7,45 persen. Tidak tanggung-tanggung, persentase kenaikan jumlah petani di Provinsi Jambi tertinggi ketiga diantara 38 provinsidi Indonesia. Provinsi dengan persentase kenaikan jumlah petani tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat sebesar 21,48 persen; disusul Kepulauan Bangka Belitung sebesar 18,26 persen dan Jambi sebesar 14,15 persen.
Provinsi-provinsi besar di Jawa masih menduduki peringkat tertinggi dengan jumlah petani terbanyak yaitu Provinsi Jawa Timur sebanyak 5,68 juta; Jawa Tengah 4,36 juta dan Jawa Barat 3,29 juta. Dengan demikian hampir 50 persen jumlah petani ada di Pulau Jawa. Sementara di Pulau Sumatera jumlah petani terbanyak di Sumatera Utara sebanyak 1,52 juta; Lampung 1,37 juta dan Sumatera Selatan 1,19 juta.
Apa sebenarnya yang menyebabkan naiknya jumlah petani di Provinsi Jambi, tidak lain dan tidak bukan adalah sang primadona yaitu kelapa sawit. Komoditas kelapa sawit mampu menjanjikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibanding subsektor pertanian yang lain seperti tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan maupun kehutanan. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) subsektor perkebunan naik 27,32 persen atau sekitar 99 ribu rumah tangga usaha perkebunan bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara 35 ribu rumah tangga usaha tanaman pangan tidak eksis lagi di Provinsi Jambi yaitu turun sekitar 26,53 persen.
Fenomena hilangnya rumah tangga usaha tanaman pangan di Provinsi Jambi tidak mengherankan karena jika dilihat dari data Nilai Tukar Petani (NTP) selama sepuluh tahun terakhir, subsektor tanaman pangan begitu susah payah mencapai NTP hingga 100 sementara subsektor perkebunan tampil dengan NTP hingga di atas 120. Demikian halnya dengan subsektor lain dimana data Sensus Pertanian yang baru saja dirilis menunjukkan fakta penurunan jumlah rumah tangga yang berusaha di semua subsektor kecuali subsektor perkebunan. Rumah tangga tanaman pangan turun 26,53 persen; hortikultura turun 17,38 persen; peternakan turun 12,43 persen; perikanan turun 18,47 persen dan kehutanan turun 43,63 persen.
Berkurangnya rumah tangga usaha tanaman pangan di Provinsi Jambi juga disebabkan karena pertanian tanaman pangan seperti padi sangat rentan terhadap kondisi alam yaitu cuaca. Selain itu pada umumnya tanaman padi hanya ditanam sekali setahun akibat kondisi tanah yang merupakan jenis rawa meski ada beberapa daerah yang bisa ditanam lebih dari sekali dalam setahun. Berbeda dengan komoditas kelapa sawit yang umumnya bisa dipanen hingga 2 kali dalam sebulan. Tak heran jika masyarakat berbondong-bondong mengusahakan perkebunan kelapa sawit. Data Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan bahwa luas tanaman perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi meningkat cukup pesat dimana pada tahun 2013 sebesar 657,93 ribu hektar menjadi 1,08 juta hektar pada tahun 2021.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak hanya membawa dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat, namun nyatanya mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian wilayah Provinsi Jambi. Nilai ekspor dari tahun ke tahun terus meningkat, dimana pada tahun 2017 senilai 189,47 juta US$ menjadi 430,38 juta US$ pada tahun 2022.
Sektor pertanian masih menjadi tumpuan ekonomi Provinsi Jambi. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap PDRB adalah tertinggi dibanding sektor ekonomi yang lain yaitu di kisaran 25-30 persen selama satu dekade ini. Selain itu sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar hingga 47,96 persen di tahun 2022.
Sesuai dengan Misi Pemerintah Provinsi Jambi salah satunya adalah Memantapkan Perekonomian Masyarakat dan Daerah yaitu untuk memulihkan perekonomian daerah melalui pengelolaan komoditas unggulan yang berkelanjutan (ekonomi hijau) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sektor pertanian yaitu subsektor perkebunan merupak sektor unggulan di Provinsi Jambi. Berbagai program kebijakan ditujukan guna menggenjot sektor unggulan tersebut yaitu ditetapkannya Rencana Aksi Kelapa Sawit Berkelanjutan; Hilirisasi Sub Sektor Perkebunan; PDRB Hijau ; BioCF-ISFL dan Perkebunan Berkelanjutan. Implementasi Rencana Aksi tersebut adalah dengan penguatan data, penguatan koordinasi dan infrastruktur; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; pengelolaan dan pemantauan lingkungan; tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; dukungan percepatan pelaksanaan sertifikasi ISPO dan akses pasar produk kelapa sawit.
Lantas bagaimana dengan nasib subsektor tanaman pangan? Bagaimana dampak ke depan massifnya perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi? Alih fungsi lahan dan pembukaan lahan baru yang marak terjadi jika tidak dibatasi tentu dapat mengancam lingkungan.
Hal lain yang sepatutnya diwaspadai akibat berkurangnya petani tanaman pangan adalah kemungkinan ancaman terhadap ketahanan pangan. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun tentunya meningkatkan kebutuhan akan pangan. Seperti halnya teori yang diungkap ekonom Malthus 2 abad silam bahwa pertambahan penduduk akan mengikuti deret ukur dan pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung. Semakin sempitnya lahan sawah dan rentannya terjadi bencana banjir maupun kekeringan menambah deretan masalah terkait ketahanan pangan disamping persoalan distribusi dan mahalnya harga pupuk.
Berbagai persoalan klasik di sektor pertanian yang belum juga berhasil diurai dengan baik dimulai dari stigmatisasi masyarakat terhadap petani yang dipandang sebagai penghidupan yang kurang bergengsi sehingga berimbas pada krisis regenerasi petani. Sensus Pertanian memotret bahwa 31 persen petani di Provinsi Jambi berusia 55 tahun ke atas sementara yang berusia 25-34 tahun hanya sekitar 12 persen. Generasi muda cenderung malu dan malas bercaping dan berkutat dengan tanah. Permasalahan lainnya adalah rantai niaga yang selalu merugikan petani dimana rata-rata petani belum mampu menyediakan produknya secara langsung kepada konsumen sehingga belum dapat memperoleh keuntungan yang layak. Teknik pertanian yang kurang presisi yang umumnya disebabkan karena kurangnya edukasi di bidang pertanian sehingga pertanian seringkali dilakukan dengan pengetahuan yang didapatkan secara turun temurun dan kurang adaptif terhadap teknologi. Lulusan pertanian lebih gandrung menekuni pekerjaan bidang lain dibanding terjun ke dunia pertanian. Minimnya modal dan ketergantungan pada alam juga menjadi faktor penghambat pertanian.
Harapan kita bersama bahwa pemerintah tidak hanya mampu menciptakan kedaulatan pangan namun lebih dari itu bahwa pemerintah ke depan mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani. Seperti kata Bapak Bangsa Ir. Soekarno bahwa soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa. Artinya bahwa petani dan pertanian menentukan kelangsungan negara.(***)