- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Sri Purwaningsih Bawa Kota Jambi Terus Melesat, Raih 120 Penghargaan Bergengsi Sepanjang 2024
- Liburan Natal dan Tahun Baru 2025,Trafik Data XL Axiata Naik 19%
- Tim SAR Cari 1 ABK Pompong yang Terbalik dihantam Ombak di Perairan Tengah Pangkal Duri Kabupaten Tanjabar
- Sat Binmas Bersama Personil Sat Reskrim Polresta Jambi Gelar TPPA dan TPPO di Kantor Lurah Tambaksari
- IPC TPK dan PTP Non Petikemas Cabang Jambi Apresiasi Pelanggan Melalui Pelepasan Kapal Terakhir 2024 dan Penyambutan Kapal Pertama 2025
- Tim Gabungan Polres dan Kodim Bungo Tertibkan PETI Gunakan Alat Berat
- Gubernur Al Haris: Stadion Swarnabhumi Jadi Pusat Pengembangan Sepak Bola Jambi
- Kapolda Jambi Rusdi Hartono Pimpin Upacara Peringati Hari Jadi Provinsi Jambi ke-68
Siswi SMA 2 Tebo Bicara Tentang Krisis Iklim Di KTT Iklim PBB
Keterangan Gambar : Siswi SMA 2 Tebo Bicara Tentang Krisis Iklim Di KTT Iklim PBB
Mediajambi.com-
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) atau Conference of Parties (COP) UNFCCC ke 29 kembali digelar di Baku,
Azerbaijan, Senin 11/11/2024 hingga Jum’at 22/11/2024. Diikuti oleh berbagai
kalangan dari 197 negara, mulai dari tingkat kepala negara, para pelaku
pengusaha, termasuk berbagai kelompok aktivis dari berbagai negara di dunia.
Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, COP-29 kembali
fokus pada pembahasan mengenai pengendalian dan penangan dampak perubahan
iklim, termasuk soal pendanaan iklim, di tengah kondisi iklim dunia yang
semakin sulit ditangani tanpa perubahan-perubahan mendasar.
Bagi Indonesia, kehadiran dalam COP-29 tentu menjadi agenda
tahunan negara sangat penting. Namun di antara ribuan delegasi, dua perempuan
muda asal Kabupaten Tebo, Jambi cukup menjadi sorotan. Mereka adalah Nasywa
Adivia Wardana (17) dan Qurrota A’yun Nur Ramadhani (17), pelajar kelas XI dan
kelas XII SMAN 2 Kabupaten Tebo. Mereka hadir difasilitasi oleh Global Alliance
for Green and Gender Action (GAGGA), sebuah lembaga internasional yang
berkedudukan di Belanda, karena mereka dinilai generasi muda yang mampu melakukan
aktivitas berharga yang menjadi bagian dari upaya penanganan perubahan iklim.
Nasywa dan Ayun berkesempatan bicara, mewakili anak muda
seusianya tentang situasi negerinya dan bahaya perubahan iklim yang mereka
rasakan. Kepada seluruh delegasi, selain menyampaikan rasa bangga atas
kehadirannya di Baku, mereka juga menyampaikan rasa cinta terhadap negerinya
yang kaya, sekaligus rasa prihatin terhadap dampak perubahan iklim yang
melanda.
“Dalam waktu bersamaan, kami merasa kurang beruntung dan
prihatin. Semakin dalam kami mengetahui apa itu krisis iklim, semakin
kehilangan waktu untuk menikmati usia muda sebagaimana pemuda pada umunya,”
kata A’yun dalam sebuah forum di Baku, 21/11/2024.
Mereka bicara dengan lugas dan tenang, bercerita di tengah
forum, bahwa mereka melihat situasi begitu menyedihkan: jutaan pemuda seusia
mereka belum memiliki pengetahuan yang benar dan cukup tentang bahaya perubahan
iklim. Aktivitas diskusi, seni dan budaya, serta berbagai aktivitas yang
menjelaskan tentang bahaya perubahan iklim masih sangat terbatas.
“Kepulauan Indonesia terlalu luas. Ancaman bencana akibat
perubahan iklim begitu nyata dan jauh lebih cepat dibandingkan dengan jumlah
pemuda yang berpengetahuan mengenai ini, menyadari bahaya dan apa yang bisa
dilakukan,” sambung Ayun.
Nasywa dan Ayun bicara dalam forum yang sama. Nasywa mengaku
bangga terlibat langsung waktu demi waktu dalam pembahasan ini, yang
resolusinya ditunggu dan berpengaruh pada seluruh masyarakat dunia.
“Kami bangga menjadi bagian dari sejarah yang hanya
segelintir pemuda seusia kami yang memiliki kesempatan ini,” kata Nasyawa.
Nasywa sendiri merupakan salah satu pemuda yang hadir dalam
COP-28 di Dubai Tahun lalu. Ketika itu dia menyoroti tentang pengalaman masa
kecilnya diselimuti bencana asap akibat bencana kebakaran hutan dan lahan,
sebagai bagian dari akibat perubahan iklim.
“Indonesia ini negeri kepulauan terbesar. Salah satu negeri
cantik berhutan tropis selain Brazil dan Republik Kongo, yang menyimpan keaneka
ragaman hayati sangat kaya. Ini bukan kata kami. Tapi ini menurut riset, buku,
artikel dan cerita perjalanan orang asing di masa lampau. Bahkan ada ungkapan
bahwa Indonesia adalah potongan surga yang diturunkan ke bumi,” ungkap Nasywa.
Mereka menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan
kecintaan pada negerinya, sekaligus kecaman dan kemarahan ketika mengetahui
sebab-sebab kerusakan iklim di Indonesia dan dunia.
“Kabut asap, misalnya, membuat kami terkurung di rumah
dengan tabung oksigen. Anak-anak mencoret-coret kemarahan pada dinding, menulis
puisi, bahkan ikut dalam aksi-aksi demonstrasi menuntut ruang isolasi. Bahkan
kabut asap pula yang membentuk kami menjadi aktivis, mencermati lahan, sungai,
rawa, tanah gambut yang mengering akibat hutan dihabisi oleh
perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit,” tegas Nasywa.
Pada bagian akhir kesempatan itu, mereka tak lupa menegaskan
bahwa pemuda seusia mereka bukanlah perusak alam dan membuat buruk situasi
masyarakat. Mereka adalah korban dari kebijakan-kebijakan yang dikendalikan
oleh generasi sebelumnya.
“kebangkitan generasi bersih adalah kebangkitan para korban
yang berhak berjuang untuk meraih penyelesaian krisis iklim dengan segera.
Pemuda harus menjadi kekuatan penting dalam mengubah situasi ini,” tegas Ayun.
Mereka mengakhiri kesempatan tersebut dengan ungkapan yang
membakar semangat dan menginspirasi bagi delegasi lainnya. Kata mereka, alam
dan masyarakat Indonesia pasti akan rusak berkelanjutan tanpa perjuangan
sungguh-sungguh pemuda, termasuk pemuda perempuan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim. Pemuda lah yang akan mengendalikan penyelesaiannya di kemudian hari.
Tantangannya, kata Ayun, generasi mereka sebagian besar
tidak pernah tahu hutan tropis yang dulu lebat, sungai Batang Hari yang jernih,
gambut dan rawa sebelum dirusak, selain dari cerita dan buku-buku.
“Kami generasi yang lahir dari alam Indonesia yang telah
rusak. Kami butuh sekolah krisis iklim yang relevan, serta dukungan solidaritas
nasional dan internasional yang intens dan berkelanjutan,” tutup Ayun.(*)