- Kemenag Usul Penurunan Biaya Haji Jadi Rp 89,66 Juta, Jamaah Hanya Bayar Rp 55,5 Juta
- Pj Walikota Jambi Sampaikan Ucapan Selamat Ulang Tahun Ke-68 Provinsi Jambi : Sinergi dan Kolaborasi Pembangunan Kota Jambi Untuk Provinsi Jambi
- Hadiri Pembukaan Gubernur Cup 2025, Pj Walikota Beri Dukungan Penuh Kesebelasan Kota Jambi
- Yamaha Aerox Alpha Sudah Ready Di Dealer- Dealer Yamaha Jambi
- Enam dari Delapan Pelaku Perundungan yang Viral di Sungai Penuh Diamankan Polisi
- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Hutama Karya Catat 2,2 Juta Kendaraan Melintas di Jalan Tol Trans Sumatera, Selama Libur Nataru 2024/2025
- Sri Purwaningsih Bawa Kota Jambi Terus Melesat, Raih 120 Penghargaan Bergengsi Sepanjang 2024
- Liburan Natal dan Tahun Baru 2025,Trafik Data XL Axiata Naik 19%
- Tim SAR Cari 1 ABK Pompong yang Terbalik dihantam Ombak di Perairan Tengah Pangkal Duri Kabupaten Tanjabar
Wenny Ira Reverawati Sukses Memberdayakan Perempuan Desa Mendaur Ulang Sampah
Keterangan Gambar : Wenny Ira Reverawati Sukses Memberdayakan Perempuan Desa Mendaur Ulang Sampah/f-dok mj
Mediajambi.com - Tak hanya berhasil dalam bidang akedemik, lewat
tangan dinginnya perempuan satu ini juga sukses memberdayakan perempuan desa
medaur ulang sampah. Kerja keras tanpa pamrih menghantarkan Wenny Ira
Reverawati, dianugerahi Pengahargaan Indonesia Satu dari Astra Indonesia pada
2017 lalu.
Penggagas Sekolah Bank Sampah Perempuan (SBSP) di Desa Penyengat
Olak, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi ini melakukan pendampingan masyarakat selama
tiga tahun di desa itu. Tenaga pengajar
di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi
juga menerima penghargaan aspirasi perempuan tingkat Provinsi Jambi tahun 2021.
Al hasil sampah yang dulu menumpuk di bawah rumah panggung
kini dimanfaatkan sebagai sumber perekonomian keluarga yang masih tetap aktif hingga
saat ini. “Sampah yang di daur ulang menjadi berbagai produk yang memiliki
nilai tambah, seperti botol mineral, koran bekas, celana jeans bekas, bungkus
mie instan, plastik bungkus kopi dan kain perca ,” ujarnya perempuan kelahiran
desa Pematang Kancil, Kabupaten Merangin ini.
Alumni Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD)
Yogyakarta yang kemudian melanjutkan program magister di Ilmu Hukum Bisnis
Universitas Gajah Mada (UGM), mengaku tertarik mendirikan sekolah bank sampah,
karena melihat sampah menumpuk dibawah rumah panggung, yang terbawa arus air usai
banjir. Karena kawasan ini berdampingan langsung dengan sungai Batanghari yang
merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera.
Dia menceritakan awal berdirinya sekolah bank sampah pada 2015,
mendapat mandat sebagai tim Community Development dari Kampus tempat dia
bekerja, turun ke Desa Penyengat Olak, Kabupaten Muaro Jambi. Selama tiga tahun,
ia dan tim terlibat langsung mendampingi perempuan dalam pembangunan desa. “Awalnya
kita menawarkan dua program salah satunya sekolah bank sampah. Masyarakat
tertarik dengan daur ulang sampah, maka kita lakukan pendampingan terhadap
mereka,” ungkapnya.
Direktur tim Community Development bertugas menjalankan
proyek Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM). Tugas ini mengharuskannya
terjun langsung ke masyarakat dan menyusun program dengan bentuk penerapan ilmu
pengetahuan sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi.
Dikatakan kaum perempuan di Desa Penyengat Olak memiliki
kesadaran tinggi akan isu lingkungan, terutama kebersihan Sungai Batanghari.
Mereka dengan sukarela berkumpul untuk membentuk sebuah organisasi bernama
Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak yang bekerja sama dengan Sekolah
Bank Sampah Al-Kautsar Kota Jambi pada akhir Januari 2016.
Membentuk Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak
adalah perjalanan panjang. Hampir dua tahun Wenny memperjuangkannya demi
kemajuan kaum perempuan desa ini. Diawali dari observasi pada awal 2015 hingga
akhirnya lahir legalitas resmi pada November 2016. “Setelah 2018, saya sudah melepaskan mereka, karena mereka
harus mandiri. Tapi sampai sekarang pun sekolahnya masih aktif, bahkan
dilanjutkan oleh kampus lain,” ujar wanita yang juga menjadi pendampingan
korban kekerasan perempuan.
Menurutnya Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak
adalah wadah belajar yang tujuannya adalah memberi pembekalan keterampilan
kepada peserta. Pembelajaran Setiap Senin, mendampingi para perempuan ini
belajar menyulap sampah menjadi karya.
Perempuan yang pernah menjadi Pendampingan Festival Kampung
Senaung ini menyadari pembelajaran adalah
proses panjang, peserta tidak mungkin menjadi mahir hanya dalam sekali
pertemuan. Melihat antusiasme para perempuan ini untuk belajar, ia juga kian
semangat menghadirkan pengajar-pengajar kompeten sebagai pemateri.
“Mereka semangat, ada yang bawa koran, botol plastik dan
macam-macam untuk jadi bahan belajar,” ujar Wenny mengenang proses belajar di
Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak yang kini hanya sebagai tempat
konsultasi karena proses pendampingan hanya dilakukan selama tiga tahun.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan positif Sekolah Bank
Sampah Perempuan Penyengat Olak menarik perhatian banyak pihak. Pemerintah desa
menganggarkan keperluan mereka ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes). Begitu pula dengan pemerintah Kabupaten dan Provinsi yang memberikan
ruang untuk memperkenalkan produk hasil tangan para perempuan di kegiatan
pameran. “Awalnya kami sungkan saat ada
tawaran ikut expo karena produk masih belum rapi, tapi dari pihak penyelenggara
justru mendorong terus”, ujar perempuan berkacamata ini.
Berkat kerja keras, tekad dan kegigihan Wenny beserta
perempuan-perempuan di Desa Penyengat
Olak, botol plastik, kertas koran dan kain perca tidak lagi berakhir mengapung
di sungai. Mereka menyulapnya menjadi kotak pensil, dompet, vas bunga dan
produk-produk lain yang bernilai jual. Sedikit demi sedikit, para perempuan di
desa ini mendulang rupiah dari tangannya sendiri. “Mereka membuktikan bahwa
perempuan juga bisa berkarya, membantu perekonomian keluarga, membangun desa,
sekaligus berpartisipasi dalam gerakan pelestarian lingkungan,” tegasnya.
Wenny kini memang sudah tidak lagi terlibat secara langsung
di Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak. Sesuai aturan dalam program
pengabdian masyarakat, pendampingan berlangsung selama tiga tahun. Namun
semangat yang ia tanamkan pada perempuan-perempuan desa akan tetap mengalir.
Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, akan lahir Wenny baru dari anak-anak
perempuan desa Penyengat Olak.
Bantu Ekonomi
Keluarga
Sejak berdirinya Sekolah Bank Sampah Perempuan (SBSP) di RT
15, Desa Penyengat Olak, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi,
ibu-ibu rumah tangga memiliki penghasilan tambahan yang berasal dari sampah.
Hingga saat ini ada 20 anggota aktif, mendaur ulang sampah berupa botol
mineral, koran bekas, celana jeans bekas, bungkus mie instan, plastik bungkus
kopi dan kain perca, menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah.
“ Masalahnya kalau sampah rumah tangga itu kan ibu-ibu yang
lebih tahu, jadi kami diajarkan cara memilah sampah hingga menjadikan sesuatu
yang memiliki nilai. Sampah-sampah untuk bahan baku produk ini biasanya ibu-ibu
yang bawa sendiri, ada juga warga yang menyumbang sampah ke sini,” ujar Yusnaini (47), salah satu anggota sekolah
bank sampah.
Belajar di Sekolah Bank Sampah Perempuan tidak dipungut
biaya, mereka hanya diminta untuk membawa atau mendonasikan sampah yang akan
digunakan dalam pembelajaran daur ulang.
Produk yang dihasilkan kerajinan berbahan sampah, seperti
tas, wadah makanan, dompet, tempat tisu, nampan, alas gelas, hingga hiasan
dinding. “Produk yang dihasilkan itu pun telah dijual dengan harga yang beragam
mulai dari yang termurah Rp15.000 hingga termahal Rp200.000 per item,
tergantung dari ukuran dan kesulitan produk yang dihasilkan itu,” katanya.
Dia mengaku bisa mendapatkan keuntungan dua ratus ribu
rupiah setiap dua bulan. “Lumayan ada hasil tambahan sedikit, bisa buat uang
jajan anak,” kata Yusnaini yang sudah aktif sejak awal.
Kegiatan di Sekolah Bank Sampah Perempuan dapat mengisi
waktu luangnya sesudah melakukan kegiatan di sawah. “Dulu pas belum ada sekolah bank sampah ini,
saya biasanya pas pulang dari sawah dan sebagai ibu rumah tangga hanya
beres-beres. Tapi, sekarang setelah tugas rumah selesai kemudian dilanjutkan
berkreasi dari bahan sampah,” ujarnya.
Anggota lainnya, Zubaidah (45) mengatakan bahwa bergabung dengan Sekolah Bank
Sampah Perempuan membuatnya memahami dampak sampah bagi lingkungan di
sekitarnya. “Kita harus lebih peduli terhadap sampah, kalau bisa sampah ini
kita manfaatkan dan jangan sampai sampah
menjadi sumber masalah,” kata Zubaidah.(maas)