- Bappebti Kemendag Alihkan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan kepada OJK dan BI
- Jurnalis Mendominasi Juara Turnamen Domino HUT Jambi Ke-68
- KPU Kota Jambi Tetapkan Maulana-Diza Sebagai Pasangan Walikota Terpilih
- KPU Kota Jambi Gelar Rapat Pleno Terbuka, Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Terpilih
- Kapolda Jambi Memimpin Upacara Sertijab Dirreskrimum, Dirpamobvit dan Kapolresta
- Kapolda Jambi Silaturahmi bersama Danlanal Palembang
- Hadirkan Spirit DNA R-Series, AEROX ALPHA Beri Dobrakan Desain yang Agresif Ala Motor Super Sport
- Pj Walikota Sampaikan Ucapan Selamat Maulana-Diza Sebagai Walikota dan Wakil Walikota Jambi Hasil Pemilihan Serentak Tahun 2024
- Kapolda Jambi Rotasi dan Mutasi di Jajaran Kepolisian
- Kaleidoskop 2024: 1.042 Km Jalan Tol Trans Sumatera dan Inovasi Digital, Wujudkan Asta Cita
Puluhan Ribu Anak Menjadi Korban Kekerasan, UU TPKS Bisa Menjadi Penyelamat
Keterangan Gambar : Terjadi 25.210 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Sepanjang 2021, FJPI Gelar Lomba Menulis
Mediajambi.com - Diketoknya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU TPKS pada 12 April 2022, merupakan kabar bahagia bagi seluruh perempuan dan anak Indonesia. UU TPKS adalah bentuk kehadiran Negara untuk melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan seksual. UU TPKS sangat komprehensif dari hulu sampai hilir termasuk di dalamnya terdapat substansi baru yang berperspektif pada korban.
Betapa tidak, saat ini kondisi kekerasa seksual terhadap perempuan dan anak berada di kondisi darurat. Data
yang dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kemen PPPA menyebutkan sepanjang tahun 2021, terjadi sejumlah 25.210 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan dengan jumlah korban 27.127 orang. "Kondisi ini merupakan situasi yang sangat kritis dalam Program Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia," ujar Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA. Titi mengatakan hal itu pada Webinar “Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA)", Sabtu (23/4). Acara itu diadakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
- Ini Cara Mudah Transformasi Digital di Kampus ala Prof Marsudi Dewan Pengarah BRIN0
- Dorong Peran Perempuan Indonesia di Bidang Teknologi, Indosat Ooredoo Hutchison Luncurkan SheHacks0
- Jokowi Larang Ekspor Minyak Goreng dan CPO0
- Triwulan I 2022 Penerimaan Negara Dari Hulu Migas Mencapai Rp 62 Triliun0
- Optimalisasi Jaringan di 300 Titik Pusat Keramaian dan Siapkan 30% Kapasitas Data 0
Hal terpenting dapat dilakukan, menurut Titi, adalah menyiapkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Indonesia.
Dalam DRPPA, desa tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya, khususnya perempuan dan anak. Memenuhi hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Serta tersedia sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak serta kelompok rentan (lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui dan lain-lain).
Agar DRPPA dapat terwujud, desa harus melakukan beberapa hal. Pertama, pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender yang dibarengi dengan proses membangun kesadaran kritis perempuan.
Kedua, menciptakan lingkungan yang mendukung proses tumbuh kembang anak serta mendorong peran dan tanggung jawab kedua orang tua dan keluarga dalam pengasuhan anak yang berkualitas.
Ketiga, desa harus melakukan upaya-upaya khusus untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Keempat; mengembangkan solusi bagi pekerja anak dalam rangka mengurangi pekerja anak. Kelima, melakukan upaya khusus untuk penghentian perkawinan anak.
Sementara itu, Olivia Chadijah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI mengatakan, seringnya terjadi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini, adalah karena di Indonesia masih berkembang stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang biasa mendapat kekerasan.
Stigma ini pun seringkali dilegitimasi oleh media, dengan cara membuat penulisan yang tidak membela perempuan yang menjadi korban kekerasan, terutama oleh suaminya atau orang terdekat. Bahkan, sikap sebagian besar masyarakat yang tidak ingin ikut campur, jika kekerasan tersebut terjadi dalam rumah tangga, menjadi dilema yang membuat korban sangat terpuruk dan dipojokkan, tanpa pembelaan.
Padahal, menurut Olivia, hal ini hanya akan membuat pelaku merasa aman dan biasa saja, ketika melakukan tindak kekerasan terhadap istri atau anaknya.
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis, dalam sambutannya, menyambut baik diketoknya RUU TPKS menjadi UU TPKS pada 12 April 2022. Ini menurutnya, adalah permulaan yang sangat baik bagi semua kalangan di Indonesia untuk melakukan pembenahan, dalam upaya untuk melindungi perempuan dan anak dari semua upaya kekerasan.
“Para jurnalis bisa membantu melalui berita, untuk menyosialisasikan UU TPKS juga menyiarkan tentang DRPPA, agar semakin banyak masyarakat yang paham tentang UU TPKS dan bagaimana masyarakat di desa khususnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan dan pengembangan diri, “ kata Uni Lubis.
Uni Lubis juga mengapresiasi peran semua kaum laki-laki yang ikut mengawal perjuangan untuk menggolkan RRU TPKS menjadi UU TPKS.
Sementara itu, Indra Gunawan, Plt Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen-PPPA, mengatakan, UU TPKS menunjukkan kehadiran negara dalam memenuhi kewajiban memberi perlindungan bagi korban sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945 maupun peraturan lainnya.
UU TPKS juga dianggap sebagai undang-undang yang komprehensif, sehingga peraturan pelaksananya harus segera diwujudkan untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat sesegera mungkin. (*/Lin)