Literasi Digital: Antara Proteksi dan Pencerahan

By MS LEMPOW 30 Okt 2025, 21:18:32 WIB JAMBI MANTAP
Literasi Digital: Antara Proteksi dan Pencerahan

Keterangan Gambar : Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.


Pendahuluan: Mengapa Literasi Digital Diperlukan

Gelombang digital membawa perubahan dahsyat bagi cara manusia berpikir, berinteraksi, dan memahami dunia. Di Indonesia, derasnya arus informasi ternyata diikuti oleh ledakan konten negatif yang mengancam tatanan sosial dan moral bangsa. Berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Digital (2025, hlm. 2), sejak tahun 2016 hingga Februari 2025 telah diblokir lebih dari 9.031.089 konten negatif, terdiri atas 5.124.670 konten judi online, 1.412.519 pornografi, serta sisanya berupa hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring. Sementara kemampuan literasi digital kita masih rendah hanya sekitar 43%.

Fenomena ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih rentan terhadap disinformasi dan provokasi digital. Rheingold (2022, hlm. 17) menegaskan, literasi digital tidak hanya tentang kecakapan teknis, melainkan juga kemampuan memahami, menilai, dan berpartisipasi secara etis di ruang maya. Tanpa kesadaran kritis tersebut, masyarakat dapat menjadi korban dan pelaku penyebaran keburukan digital sekaligus.

    Sasaran Literasi Digital: Objek, Regulasi, Kolaborasi, dan Kebijakan

    Sasaran literasi digital mencakup ranah individu, institusi, dan negara. Individu dituntut memiliki kemampuan menyeleksi informasi secara etis; lembaga pendidikan berperan menanamkan kesadaran digital melalui kurikulum dan pembinaan karakter; sedangkan negara bertanggung jawab melalui kebijakan dan proteksi hukum.

    Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Teknologi Informasi, yang menjadi pijakan hukum bagi keamanan siber nasional. Menurut Nasrullah (2023, hlm. 85), kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat adalah jalan terbaik untuk membangun ekosistem digital yang sehat.

    Sementara itu, Potter (2022, hlm. 43) menyebutkan bahwa literasi digital tidak berhenti pada kemampuan teknis, melainkan mencakup kesadaran metakognitif — kemampuan untuk membaca dan menilai pesan digital secara kritis. Proteksi hukum tanpa pencerahan moral akan kehilangan makna; sebaliknya, pencerahan tanpa regulasi membuka peluang penyalahgunaan teknologi.

    Jenis Kejahatan Digital dan Efek Lintas Generasi

    Kejahatan digital kini menjelma sebagai ancaman global lintas generasi. Berdasarkan data Kominfo (2025, hlm. 4), pada periode Oktober 2024–Mei 2025 terdapat 1.940.399 konten negatif yang berhasil ditangani; 76 persen di antaranya adalah judi online, 22 persen pornografi, dan sisanya hoaks serta penipuan digital.

    Kejahatan siber bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut degradasi moral dan spiritual bangsa. Santoso (2024, hlm. 29) mencatat bahwa meningkatnya hoaks politik menjelang pemilu 2024 telah memicu polarisasi sosial yang tajam di kalangan muda. Sementara Livingstone dan Helsper (2023, hlm. 51) menegaskan, paparan konten negatif secara terus-menerus dapat menurunkan empati sosial, menormalisasi kekerasan digital, dan menciptakan generasi yang kehilangan sensitivitas moral.

    Dalam konteks ini, literasi digital harus dihadirkan sebagai benteng spiritual dan intelektual agar generasi muda tidak hanyut dalam arus destruktif teknologi.

    Teori Literasi: Proteksi, Pencerahan, dan Cerdas Digital

    Konsep literasi digital dapat didekati melalui tiga teori utama. Pertama, Proteksi Digital yang menekankan kemampuan individu mengenali risiko, menjaga privasi, dan menghindari jebakan kejahatan daring (Ribble, 2022, hlm. 67). Kedua, Pencerahan Digital, yang menumbuhkan kesadaran etis dalam menggunakan teknologi demi kemaslahatan bersama (Habermas, 2022, hlm. 74). Ketiga, Kecerdasan Digital (Digital Intelligence) yang menyatukan kemampuan kognitif, emosional, dan spiritual dalam dunia maya (Gleason, 2023, hlm. 92).

    Dalam kerangka sufistik, literasi digital sejatinya adalah tazkiyah al-nafs digital, yakni penyucian jiwa di dunia maya agar tidak ternoda oleh keserakahan algoritmik. Al-Attas (2022, hlm. 118) mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab akan melahirkan kekacauan (chaos). Maka, manusia tercerahkan digital bukan yang paling canggih, tetapi yang paling beradab di ruang siber.

    Teknologi Digital: Sebuah Keniscayaan Lintas Generasi

    Digitalisasi merupakan keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari. Dunia pendidikan, ekonomi, dan budaya telah memasuki fase transformasi total. Namun, Turkle (2023, hlm. 54) mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tanpa kesadaran moral akan melahirkan masyarakat algoritmik yang kehilangan nilai kemanusiaan.

    Generasi Alpha dan Z lahir dalam dunia tanpa batas. Oleh karena itu, kebijakan literasi digital perlu bersifat lintas generasi — mengintegrasikan pendidikan agama, etika, dan teknologi. Dalam pandangan Rheingold (2022, hlm. 83), manusia digital yang matang adalah mereka yang mampu “berpikir sebelum mengklik”, sadar bahwa setiap tindakan daring meninggalkan jejak moral.

    Penutup

    Literasi digital adalah fondasi peradaban modern. Ia bukan hanya kemampuan mengoperasikan gawai, tetapi juga kemampuan moral untuk menimbang baik dan buruk di ruang maya. Proteksi melindungi dari bahaya, pencerahan menuntun pada kebijaksanaan, dan kecerdasan digital menghidupkan kesadaran spiritual di tengah dunia siber.

    Sebagaimana firman Allah:

    Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Muj?dilah: 11)

    Ayat ini mengandung pesan mendalam bahwa ilmu dan iman harus berjalan bersama, termasuk dalam dunia digital. Dengan demikian, literasi digital sejati bukan sekadar proteksi terhadap kejahatan, tetapi juga pencerahan menuju masyarakat digital yang beradab, cerdas, dan beriman.

    Referensi

    Al-Attas, S. M. N. (2022). Islam and the Philosophy of Technology. Kuala Lumpur: ISTAC Press.

    Gleason, N. (2023). Higher Education in the Era of Digital Intelligence. Singapore: Springer.

    Habermas, J. (2022). The Digital Public Sphere and Rational Communication. Cambridge: Polity Press.

    Kementerian Komunikasi dan Digital. (2025). Laporan Penanganan Konten Negatif 2024–2025. Jakarta: Kemkomdigi.

    Livingstone, S., & Helsper, E. (2023). Youth and the Risks of Digital Media. Journal of New Media Studies, 12(3), 44–60.

    Nasrullah, R. (2023). Literasi Digital dan Regulasi Siber Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Potter, W. J. (2022). Media Literacy. New York: Routledge.

    Rheingold, H. (2022). Net Smart: How to Thrive Online. Cambridge: MIT Press.

    Ribble, M. (2022). Digital Citizenship in Schools. Washington: ISTE.

    Santoso, A. (2024). Fenomena Hoaks dan Krisis Literasi Digital di Indonesia. Jurnal Komunikasi Nusantara, 5(1), 22–37.

    Turkle, S. (2023). Reclaiming Conversation in the Digital Age. New York: Penguin.




    Write a Facebook Comment

    Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

    Semua Komentar

    Tinggalkan Komentar :